• Ketika badai Katrina menghantam dan meluluhlantakkan kota indah New Orleans beberapa tahun silam, segenap jajaran pemerintah AS yang bertanggungjawab menangani bencana mengalami kepanikan dan gagal dalam mengambil tindakan penanggulangan yang responsif.

    Namun persis pada momen itu, sejumlah perusahaan besar Amerika bergerak cepat dan serentak memberikan respon. Perusahaan Fedex yang ahli dalam logistik langsung bergerak dan dalam hitungan jam mampu mendistribusikan bantuan bagi jutaan penduduk yang terkena kemalangan. Sementara perusahaan retail raksasa Walmart langsung menginstruksikan jaringan gerainya disekitar kejadian bencana untuk memasok ribuan item bahan makanan secara gratis bagi para korban.

    Tanpa banyak cakap, para ahli logistik yang bekerja sebagai karyawan di kedua perusahaan itu bahu membahu menolong ribuan korban yang terjebak dalam badai. Banyak pengamat yang tertegun dengan kecepatan kedua perusahaan itu dalam mengelola logistik dan supply chain bagi daerah bencana. Sebagian yang lain lantas menyebut kisah heroisme mereka dalam tragedi badai Katrina itu sebagai contoh terbaik tentang bagaimana menjalankan disaster management (atau manajemen kebencanaan).

    Kini ketika negeri ini diguncang dengan badai tsunami di Mentawai dan abu vulkanik telah meluluhlantakkan kota Jogjakarta, kita mungkin merindukan langkah responsif semacam itu. Tentu saja sejumlah organisasi bisnis (perusahaan) telah melakukan inisiatif untuk membantu bencana itu. Namun sayang sebagian besar tindakannya masih tergolong konvensional dan kuno. Yang paling klise adalah ini : banyak perusahaan (media, bank, perusahaan minyak, dll) yang lalu beramai-ramai membuka dompet bencana untuk menyalurkan bantuan. Bagus juga inisiatif semacam ini, but that’s not enough.

    Dalam konteks itulah maka muncul gagasan untuk mengkombinasikan kegiatan Corporate Social Responsibility (atau CSR) dengan inisiatif Disaster Management. CSR kita tahu kini makin menyeruak menjadi tema penting bagi keberlanjutan dunia bisnis. Nah disini kita punya dua inisiatif penting yang mungkin layak ditimbang kala kita mau mensinergikan kegiatan CSR dengan disaster management.

    Inisiatif pertama : memasukkan program disaster management yang terpadu sebagai bagian dari program CSR. Kini ditengah beragam program CSR (beasiswa pendidikan, bantuan modal usaha, penghijauan taman kota, dll) nyaris tidak ada satu perusahaan yang memasukkan item mengenai disaster management sebagai salah satu program unggulannya.

    Kita membayangkan ada sejumlah perusahaan yang berinisiatif membentuk tim disaster management yang terlatih dengan segenap perangkat pendukunganya; dan sewaktu-waktu dengan cepat akan bergerak ke daerah bencana sebagai bagian dari CSR perusahaan.

    Demikianlah misalnya kita membayangkan perusahaan United Tractrors (produsen traktor dan buldozer) mempunyai tim disaster management. Lalu persis ketika desa di Sleman tersapu abu vulkanik, mereka dengan cepat menyiapkan satu tim buldozer lengkap dengan sopirnya yang trampil untuk bergerak menuju lokasi.

    Atau kita membayangkan Pertamina mempunyai tim disaster management yang solid sebagai bagian dari CSR. Dan ketika ribuan pengungsi di Cangkringan kekurangan pasokan air, segera ratusan truk tim disaster management Pertamina datang memasok ribuan liter air bersih – lengkap dengan sistem manajemen distribusinya. Tidakkah langkah-langkah seperti ini jauh lebih keren dibanding sekedar membuka dompet bencana?

    Inisiatif kedua : perusahaan tidak hanya cukup memberikan donasi uang atau dompet bantuan. Sebagai bagian dari CSR, ada yang lebih penting dari itu, yakni : memberikan bantuan human capital (brain capacity) dan keahlian manajerial. Banyak perusahaan yang mempunyai manajer handal dalam bidang logistik, civil engineering, supply chain dll. Lalu mengapa mereka tidak mengirimkan para manajer terbaiknya terjun ke lokasi, menyiapkan distaster management yang terkoordinasi rapi demi menolong para korban bencana?

    Dan persis langkah semacam itulah yang dulu dilakukan oleh Fedex dan Walmart. Detik ketika badai Katrina menyerbu, mereka langsung mengirimkan para manajer terbaiknya dalam bidang logistik ke lokasi bencana; dan membebaskan mereka semua dari rutinitas tugas kantor. Puluhan manajer lainnya juga diberikan cuti gratis dan langsung diminta menjadi sukarelawan untuk total bekerja membantu korban bencana. Ditopang oleh keahlian manajerial dan sistem logistik yang profesional, para manajer ini dengan sigap mampu mengelola bencana dengan sangat rapi dan teratur.

    Demikianlah dua inisiatif kunci yang bisa dilakukan untuk mensinergikan kegiatan CSR dengan Disaster Management. Kalau saja inisiatif penting ini dilakukan, mungkin reputasi perusahaan akan menjadi kian harum. Namun ada yang lebih penting lagi : karyawan menjadi sangat bangga bekerja di sebuah perusahaan yang peduli dengan tugas-tugas kemanusiaan yang mulia nan luhur.

    Dulu, selepas menunaikan tugasnya yang heroik menyelamatkan korban Katrina, puluhan karyawan Fedex saling berangkulan dan meneteskan air mata. We are proud to be members of Fedex, begitu pekik mereka dengan penuh keharuan. Bangga karena selesai menjalankan tugas kemanusiaan yang di-support penuh olah perusahaanya.

    Tidakkah itu merupakan sumber motivasi yang amat kuat untuk membangun SDM yang tangguh dan berhati mulia ?

    Sumber : http://strategimanajemen.net/

  • Management 16.11.2010 No Comments

    Kini tampaknya makin banyak perusahaan yang berbondong-bondong menggunakan pegawai dengan status oursourcing (alih daya). Dan jenis pekerjaan yang di-alihdayakan juga tak lagi sebatas pekerjaan supporting semacam tenaga sekuriti, OB ataupun tenaga kurir. Kini juga makin banyak pekerjaan back office yang di-outsource-kan, seperti tugas sekretaris, staf payroll, staf accounting dan sejenisnya.

    Pertimbangannya tentu saja untuk menghemat cost. Dengan menggunakan tenaga outsourcing, perusahaan tak lagi harus terbebani berbagai “employee benefit cost” yang kadang sangat mahal (bisa sama besarnya dengan gaji dasar karyawan). Sebut misalnya, biaya kesehatan pegawai atau biaya pensiunan pegawai.

    Jika menggunakan karyawan permanen, berbagai employee benefit cost semacam itu wajib diberikan oleh perusahaan, dan diam-diam ini bisa menggerus sumber daya finansial perusahaan. Kita masih ingat misalnya, tragedi kebangkrutan perusahaan General Motors. Salah satu sebabnya, biaya kesehatan para pensiunannya lebih besar dibanding keuntungan perusahaan. Dengan kata lain, laba perusahaan habis hanya untuk menanggung beban biaya kesehatan pegawai dan para pensiunannya. Banyak perusahaan BUMN disini yang suatu saat mungkin akan menghadapi problem serupa.

    Itulah mengapa pilihan untuk merekrut tenaga outsourcing merupakan salah satu pilihan yang menarik untuk melakukan efisiensi biaya tenaga kerja. Tentu saja, banyak pihak yang protes dengan situasi semacam ini. Sebagian bahkan kemudian mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang atau sangat membatasi kegiatan outsourcing.

    Namun barangkali kita mesti hati-hati dengan anjuran semacam itu. Sebab – harap ingat kalimat ini – sejumlah studi menunjukkan kebijakan mengenai tenaga kerja yang terlalu kaku dan rigid dalam jangka panjang justru akan merugikan ekonomi sebuah negeri. Dengan kata lain, peraturan tenaga kerja yang “terlalu” melindungi kepentingan dan hak pekerja acapkali justru menjadi bumerang bagi kemajuan ekonomi bangsa.

    Contoh yang peling getir dari pernyataan diatas adalah apa yang terjadi di Perancis dan Spanyol. Di banyak negera Eropa – terutama Perancis – terdapat banyak kebijakan yang sangat memihak kepentingan pegawai (misal di Perancis untuk melakukan PHK karyawan harus melalui ijin dari Perdana Menteri !!). Kenyataannya, angka pengangguran di dua negera itu sangat tinggi. Di Perancis angka pengangguran faktual diperkirakan berada pada angka 20% — sebuah angka menyeramkan dan jauh diatas angka pengangguran di negeri ini. Begitu juga di Spanyol.

    Sebabnya sederhana : peraturan tenaga kerja yang kaku dan “terlalu” membela kepentingan pekerjaa ternyata membuat banyak perusahaan takut melakukan rekrutmen dan enggan menjalankan kebijakan ekspansi bisnis. Akibatnya fatal : roda ekonomi bisnis menjadi macet.

    Itulah sebabnya sejumlah ahli kebijakan ekonomi menyebut peraturan tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid) bisa sangat menguntungkan orang yang saat ini sudah bekerja; namun bisa menjadi ancaman bagi para calon pekerja (adik-adik kita yang akan segera memasuki dunia kerja). Sebabnya ya itu tadi : peraturan tenaga kerja yang tidak fleksibel akan membuat perusahaan enggan melakukan rekrutmen dan investasi baru. Ujungnya : roda ekonomi menjadi tersendat, dan para calon pekerja baru menjadi tidak kunjung menemukan pekerjaan yang diimpikannya.

    Melihat fakta diatas, maka kebijakan mengenai outsourcing mungkin akan terus berjalan, bahkan mungkin dengan laju yang kian menggeliat. Jadi harus bagaimana?

    Dari sisi pekerja, fenomena outsourcing ini mungkin memang sebuah berita yang sungguh memilukan. Memilih menjadi pegawai dengan status outsourcing memang seperti menggantang masa depan pada sebuah jalan ketidak-pastian yang kelabu.

    Namun sekedar menggerutu pada perusahaan atau mengomel tentang kebijakan outsourcing juga hanya buang-buang energi belaka. Sebab mengutuk keadaan hanyalah cermin dari sebuah sikap yang tak mau menerima tanggungjawab penuh akan nasib diri sendiri.

    Karena itu jika ada ada diantara Anda yang kebetulan menjadi pegawai outsourcing, kenapa tidak menjalaninya saja dengan penuh ketekunan. Tentu saja sambil terus belajar, menggali pengalaman bekerja, dan senantiasa mengasah kecakapan yang relevan. Lalu suatu saat, ketika ada kesempatan pekerjaan yang lebih menjanjikan, Anda bisa dengan lebih siap bersaing untuk mendapatkannya.

    Sekali lagi, pesan yang ingin terus disuarakan adalah ini : we create our own destiny. Menjadi pegawai outsourcing bukanlah sebuah petaka yang menjadi akhir segalanya. Bagi pribadi yang bermental tangguh dan selalu berpikir positif, pengalaman menjadi tenaga outsourcing mungkin justru merupakan jalan yang harus dilalui untuk menapaki kesuksesan di kemudian hari.

    Sumber :

    http://strategimanajemen.net/

  • Management 03.11.2010 No Comments

    Inovasi kini barangkali telah menjelma menjadi sebuah mantra yang kudu diusung kala sebuah organisasi bisnis hendak terus mengibarkan kejayaannya. Tanpa inovasi, sebuah perusahaan bisa terpeleset dalam ambang kekalahan.

    Produk smartphone keluaran Nokia misalnya, siapa mengira bisa begitu cepat terpeleset dalam pasar domestik di tanah air. Inovasi agresif yang telah dilakukan oleh para pesaingnya telah membuat relevansi Nokia menjadi begitu cepat pudar dalam persaingan pasar ponsel yang begitu keras.

    Lantas jika inovasi memang telah menjadi begitu penting, dimensi apa yang mesti diracik untuk menopang keberadaannya? Disinilah kita mesti menoleh pada konsep tentang knowledge management. Atau sebuah proses untuk menciptakan, mengelola, dan mengaplikasikan pengetahuan demi tumbuhnya parade inovasi yang membikin para pesaing kehilangan nyali.

    Sebelum mendiskusikan secara detil mengenai pentingnya knowledge management dalam mendorong proses inovasi, ada baiknya kita melihat sekilas mengenai dua kategori penting pengetahuan. Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai explicit knowledge atau pengetahuan yang bisa dengan mudah dijabarkan dalam rangkaian kata-kata, atau formula dan langsung dapat ditransfer secara lengkap kepada orang lain. Contoh pengetahuan eksplisit adalah seperti buku panduan pemeliharaan mobil atau SOP pelayanan pelanggan.

    Jenis yang kedua adalah tacit knowledge atau jenis pengetahuan yang relatif lebih sulit dijabarkan dengan rangkaian kata-kata. Seringkali pengetahuan yang amat mendalam dan menempel dalam otak seseorang tidak terlalu mudah untuk ditiru. Contoh : pengetahuan seorang koki yang dibangun bertahun-tahun melalui pengalaman panjang. Buku resep adalah explicit knowledge yang mudah di-akses dan dipelajari. Pengetahuan koki yang handal adalah tacit knowledge yang tidak begitu mudah ditransfer kepada orang lain.

    Tugas knowledge management adalah memastikan bahwa kedua jenis pengetahuan itu – baik yang bersifat explicit ataupun tacit – dapat dipelihara, terus dikembangkan dan kemudian diaplikasikan untuk memenangkan pertempuran dalam arena bisnis.

    Sebuah perusahaan yang berhasil menjalankan tugas knowledge management dengan cemerlang biasanya akan mampu melenggang menuju jalan kemenangan inovasi. Sebaliknya, perusahaan yang lamban dalam mengakuisisi pengetahuan mutakhir acap akan tergelincir dalam tebing kekalahan.

    Disini kita bisa melihat beragam contoh tentang peran pengetahuan dalam mendorong inovasi yang menjulang. Kisah pil biru yang menggemparkan dengan merk Viagra itu misalnya, diracik oleh pengetahuan cemerlang Pfizer : sederet pengelolaan pengetahuan yang dibangun melalui riset medis yang amat panjang. Atau kisah Teh Botol Sosro, dibentangkan oleh tonggak tacit knowledge para pendirinya tentang bagaimana caranya meracik teh dengan aroma dan rasa yang pas di hati – sehingga apapun makanannya, minumnya selalu teh sosro.

    Sebaliknya, karena merasa tidak memiliki pengetahuan yang bagus tentang cara membikin kecap dengan rasa mak nyus, maka Unilever Indonesia “membajak pengetahuan” dengan cara membeli perusahan Kecap Bango.

    Kisah akuisisi pengetahuan ini juga terjadi dalam kasus pembelian perusahaan PeopleSoft (software dalam bidang HR) oleh Oracle. Karena merasa tidak memiliki pengetahuan yang kokoh dalam bidang software HR system, Oracle – salah satu penguasa pasar software bisnis selain SAP – memilih melakukan “instant knowledge acquisition” dengan cara mencaplok PeopleSoft.

    Sementara, tanpa kecepatan membangun pengetahuan yang terus berkembang, perusahaan bisa tersandung. Dalam pasar smartphone misalnya, masa depan berpihak kepada mereka yang memiliki pengetahuan software yang unggul. Dan sungguh dalam pengetahuan software ponsel ini, Nokia ibarat murid SLTA jika dibanding iPhone atau Google Android (yang level pengetahuannya sudah setara dengan kelas profesor). Itulah kenapa dalam pasar smartphone, Nokia mendadak menjadi pecundang yang hanya bisa termangu menyaksikan ponsel Android terus melesat.

    Pesan yang mau disampaikan adalah ini : sebuah knowledge management yang handal hanya bisa tumbuh jika pertama-tama ia dibekali oleh kecakapan dalam menciptakan dan mengakuisisi pengetahuan. Dan seperti yang dicontohkan dalam kasus diatas, dua alternatif cara menciptakan pengetahuan untuk inovasi adalah : 1) membangun sendiri melalui proses research & development yang panjang dan melelahkan (contoh Pfizer) atau 2) melakukan akuisisi pengetahuan (seperti contoh Kecap Bango).

    Apapun caranya, terus berusaha mengembangkan pengetahuan demi tumbuhnya inovasi adalah kunci kemenangan bisnis. Jadi sekali lagi, INNOVATE or DIE.

    Sumber : http://strategimanajemen.net/


  • Management 03.11.2010 No Comments

    Knowledge-based economy, demikian sebuah kosa kata yang kini makin acap terdengar. Frasa itu secara eksplit juga makin meneguhkan pentingnya makna pengetahuan bagi eksistensi sebuah organisasi – entah itu organisasi bisnis ataupun organisasi publik.

    Dalam konteks itulah, kini juga makin mendesak sebuah kebutuhan bagi setiap organisasi untuk membangun apa yang disebut sebagai knowledge management atau manajemen pengetahuan. Knowledge management atau sering disingkat KM sendiri sejatinya dapat diartikan sebagai sebuah tindakan sistematis untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan mendistribusikan segenap jejak pengetahuan yang relevan kepada setiap anggota organisasi tersebut, dengan tujuan meningkatkan daya saing organisasi.

    Di Indonesia sendiri, konsep dan aplikasi dari knowledge management ini sudah makin berkembang dengan baik. Bahkan ada sebuah organisasi konsultan, yakni Dunamis (pemegang lisensi Stephen Covey di Indonesia) yang memberikan award tahunan bagi perusahaan di Indonesia yang dianggap terbaik dalam penerapan knowledge management. Award itu disebut MAKE (Most Admired Knowledge Enterprises), dan tiga pemenang utama untuk tahun 2008 ini adalah Excelkomindo Pratama (XL), Astra International dan Telkom Indonesia.

    Lalu langkah apa saja yang mesti dilakukan untuk mengembangkan knowledge management yang tangguh? Berikut tiga tips praktis yang mungkin bisa dirajut guna menata knowledge management yang efektif.

    Langkah yang pertama adalah membangun apa yang bisa disebut sebagai Portal Pengetahuan secara internal (intranet knowledge portal). Dalam portal yang bisa diakses oleh setiap anggota perusahaan inilah, disusun beragam folder dan menu pengetahuan yang relevan. Isinya bisa menyangkut artikel-artikel tentang manajemen praktis; paper mengenai dinamika industri bisnis yang digeluti; materi-materi pelatihan internal; ataupun juga berupa paper pengalaman dari karyawan perusahaan tersebut dalam mengerjakan sebuah projek tertentu.

    Dulu ketika saya masih bekerja pada sebuah perusahaan konsultan asing, firma saya ini menyediakan sebuah portal pengetahuan yang sangat ekstensif. Salah satu menu favorit kami adalah “lesson learned paper” yang berisikan poin-poin penting apa – baik poin kegagalan ataupun keberhsilan — yang diperoleh ketika rekan-rekan kami mengerjakan projek konsultasi untuk para kliennya di berbagai negara di dunia. Melalui paper ini, “learning curve” kami dapat bergerak dengan cepat lantaran adanya proses saling berbagai pengetahuan dari beragam sumber di beragam tempat.

    Lalu, siapa yang mestinya mengelola portal pengetahuan ini? Idealnya mesti ada satu dedicated person yang bertugas mengidentifikasi, mengkodifikasi dan menata beragam sumber pengetahuan yang relevan (sebutannya adalah “knowledge officer”). Orang ini tentu mesti dibantu oleh tim IT untuk menyiapkan infrastruktur database dan portal intranet tersebut.

    Langkah praktis kedua adalah dengan mentradisikan semacam pertemuan Knowledge Sharing Session, selama sekitar 2 jam, setidaknya setiap bulan sekali. Sharing session ini bisa dilakukan secara corporate-wide, atau dilakukan per departemen/divisi. Bisa dilakukan dengan mengundang narasumber dari luar atau internal. Materinya bisa berupa pengetahuan manajemen praktis ataupun pengalaman karyawan dalam mengerjakan sebuah tugas/projek. Hasil sharing session ini kemudian juga bisa di-upload ke Portal Pengetahuan, sehingga setiap karyawan bisa mengakses materinya. Knowledge sharing session ini akan sangat bermanfaat dalam menggali dan mendistribusikan potensi pengetahuan yang ada dalam diri setiap karyawan perusahaan.

    Langkah praktis ketiga adalah dengan menerbitkan semacam Online Knowledge Buletin. Buletin ini dapat diterbitkan sebulan atau dua bulan sekali, dan berisikan update pengetahuan-pengetahuan mutakhir mengenai manajemen/bisnis ataupun mengenai dinamika industri yang ditekuni oleh perusahaan tersebut (beragam artikel yang ada di blog ini juga sangat cocok menjadi materi buletin itu…..hehehehe). Buletin ini sebaiknya didistribusikan melalui multimedia email (email multimedia maksudnya email yang isinya variatif, penuh warna dan elemen visual lainnya; jadi berbeda dengan email tradisional yang garing dan biasa Anda terima itu). Melalui knowledge buletin ini, pengetahuan setiap karyawan perusahaan Anda bisa terus disegarkan dan ter-upate; jadi tidak lapuk ketinggalan zaman.

    Demikianlah tiga langkah praktikal yang mungkin bisa Anda lakukan untuk mulai membangun knowledge management system di kantor/perusahaan Anda. Sebuah tindakan untuk merawat, menyemai dan memupuk benih-benih gagasan setiap insan demi tumbuhnya sebuah taman pengetahuan yang indah nan mencerahkan.

    Sumber : http://strategimanajemen.net

  • Demi meningkatkan pengetahuan karyawannya dan mengantisipasi fenomena pembajakan SDM terampil yang dimilikinya, Astra Graphia mengembangkan sistem Knowledge Management. Bagaimana liku-likunya dan apa benefit yang sudah dirasakan?

    Sebuah kredo bisnis menyebutkan bahwa salah satu kunci untuk memenangi persaingan adalah kekuatan dari karyawan yang cerdas (knowledge worker). Logikanya, semakin cerdas karyawan di perusahaan, semakin mudah pula perusahaan menghadapi perubahan dan memenangi kompetisi.

    Lalu, bagaimana cara meningkatkan pengetahuan karyawan secara efektif dan efisien? Mengirim mereka ke lembaga pelatihan, sekolah, atau seminar agar terjadi peningkatan pengetahuan tampaknya bukan solusi efektif dan efisien jika jumlah karyawannya banyak. Sebab, hal itu akan menelan biaya besar dan butuh waktu yang lama.

    Nah, salah satu solusi untuk meningkatkan pengetahuan di lingkungan internal perusahaan adalah dengan menerapkan sistem Knowledge Management (KM). Salah satu perusahaan yang telah menerapkan konsep manajemen pengetahuan adalah PT Astra Graphia (AG). Perusahaan distributor eksklusif dari Xerox ini telah menerapkan KM sejak tahun 2000. Menurut Jusuf D. Salim, CIO AG sekaligus Direktur Sistem & Solusi PT AGIT, ada dua alasan utama yang memungkinkan AG mengadopsi sistem KM. Pertama, sebagai show case, karena Xerox yang dulunya terkenal sebagai copier company harus bertransformasi menjadi document & knowledge management solution provider. “Document is not only a piece of paper. Nilai dokumen terletak pada isinya, contents,” ujar Jusuf.

    Jusuf menjelaskan, sejak dulu prinsipal perusahaannya, Xerox, memang terkenal dengan inovasi produknya. Misalnya, pada 1993, Xerox merupakan initial backing untuk Howard Shao dan John Newton, ketika perusahaan pembuat kapal terbang Boeing meminta dibuatkan solusi Electronics Data Management System (EDMS) atau Enterprise Contents Management (ECM) untuk informasi tak terstruktur (unstructured information) mereka. Dari proyek Boeing itulah kemudian lahir produk Documentum dan DocuShare.

    Alasan kedua penerapan KM di AG adalah mempercepat arus informasi. Dampak yang diharapkan adalah efisiensi biaya. Ketika itu, Jusuf mengenang, AG mempunyai lebih dari 70 lokasi kantor cabang di Indonesia dengan sekitar 400 teknisi dan analis sistem. Tentunya, para teknisi dan analis sistem ini perlu diberi informasi terkini dari mesin-mesin Xerox yang mereka servis. Sebenarnya, bisa saja informasi itu dikirimkan ke mereka melalui surat elektronik (surel), tetapi untuk mencari kembali informasi akan menjadi masalah. “Karena itu, kami luncurkan DocuShare di intranet Astra Graphia,” ucap Jusuf.

    Jusuf berpendapat, KM merupakan gabungan antara strategi bisnis, TI dan manajemen SDM. Nah, sejalan dengan perkembangan pesat TI, pertambahan informasi begitu cepat dan berlimpah. “Tantangannya adalah how to capture our staff knowledge and experiences, dan bagaimana mengelola informasi itu. Ini memerlukan sebuah tool,” Jusuf memberi alasan. “Selain itu, banyak teknisi dan system analyst AG yang dibajak kompetitor. Ini merupakan tantangan. KM is the answer. ”

    Tentu saja, pengembangan sistem KM di AG tersebut dilakukan secara bertahap, sejalan dengan perkembangan pemanfaatan TI di AG. “IT is the base infrastructure to have a good KM,” Jusuf menegaskan. Pada 1990, AG sudah mempunyai sistem surel korporat. Padahal, ketika itu masih sedikit perusahaan yang menggunakan surel. Dalam surel ini biasanya ada informasi dalam wujud attachment. Namun, di sini pihak AG menghadapi masalah, yakni bagaimana melacak atau mencari kembali informasi yang ada pada saat diperlukan. Nah, pada 1997 AG memutuskan mengembangkan DocuShare―yang diperkenalkan secara nasional pada tahun 2000.

    Selain itu, diperkenalkan juga suatu sistem untuk tim teknisi yang disebut Eureka. Eureka merupakan aplikasi KM dengan kombinasi penggunaan sistem Oracle Database dan web-based DocuShare. Di dalam Eureka terdapat kumpulan “knowledge” para teknisi Xerox sedunia. Melalui Eureka inilah para teknisi Xerox sedunia dapat meng-input penemuan mereka, berbagi pengalaman ataupun cara menangani problem dengan cepat dan, yang tak kalah penting, informasinya dapat dicari dengan mudah.

    Saat ini, AG juga mempunyai sistem e-Learning, baik yang menyangkut informasi produk-produk Xerox, software dan hardware, maupun pengetahuan umum seperti IT management, project management, hingga materi-materi yang sangat teknis.

    Diakui Jusuf, dalam pengembangan KM ini ada kendala yang dihadapi. Terutama, dari karyawan sebagai pengguna sistem. Pasalnya, sistem hanyalah alat, sedangkan input-nya tetap dari manusia. Jadi, kunci keberhasilan KM ini apakah mereka mau menggunakannya dengan tepat atau tidak.

    Maka, lanjut Jusuf, di AG dibuatkan standar: informasi umum/biasa yang lebih dari 1MB dan distribusinya lebih dari lima orang harus dimasukkan ke dalam DocuShare. Dengan begitu, informasi dapat disimpan dan hemat biaya bandwidth. Dan, setiap departemen mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kontennya. Ketika informasi (data) di DocuShare sudah sangat banyak (besar), diperlukan content owner untuk merawat informasi. Untungnya, di dalam DocuShare ada fasilitas untuk meng-update berdasarkan versi data. Guna menyiasati penumpukan informasi, dibuatkan peraturan: informasi yang tidak pernah diakses lagi lebih dari lima tahun akan diarsip.

    Lalu, apa benefit yang sudah diperoleh? Melalui pengembangan KM ini, diklaim Jusuf, pihaknya bisa memperoleh beberapa keuntungan. Antara lain: membantu perusahan, terutama dalam hal knowledge retention dan proses edukasi ke karyawan menjadi lebih mudah. Selain itu, AG juga tidak perlu terlalu banyak menyelenggarakan in-class training untuk menambah ilmu. Sebab, kapan dan di mana pun proses pelatihan bisa dilakukan. Juga, jika teknisi atau analis sistem mendapatkan problem yang belum pernah mereka temukan, mereka bisa mencari contoh kasusnya di sistem database. Dengan begitu, pemecahan masalahnya pun lebih cepat. “Tentunya, ini berdampak pada customer satisfaction. Manajemen pun bisa mendapatkan informasi yang lebih akurat untuk analisis dan mengambil keputusan,” ungkapnya.

    Menurut Jusuf, ke depan AG akan terus mengadopsi solusi TI sesuai dengan kebutuhan. Termasuk, berencana mengadopsi sistem e-Document. Melalui solusi itu tempat penyimpanan akan lebih hemat, karena pihaknya tidak perlu menyewa gudang untuk menyimpan bukti-bukti transaksi sampai 10 tahun. Sayangnya, Pemerintah Indonesia belum mengenal dan memperbolehkan e-Document sebagai bukti. Padahal, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Australia sudah diperbolehkan. “Juga akan membantu pelanggan AG untuk implementasi KM, dari proses pemindahan hard copy hingga konversi data menjadi XML-based text supaya bisa diakses manajemennya. Termasuk merekomendasikan solusi yang tepat bagi pelanggan berdasarkan pengetahuan dan best practice yang telah kami miliki,” Jusuf memaparkan.

    Yang jelas, keberadaan KM yang berbasis Web ini sangat dirasakan manfaatnya oleh karyawan AG. Soebandi, misalnya, menilai KM memudahkannya dalam mengakses informasi (pengetahuan), sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan. Pasalnya, KM di AG sudah dikembangkan dalam bentuk portal, sehingga bisa memberikan akses kepada setiap karyawan untuk melakukan sharing informasi, baik itu dalam bentuk artikel maupun yang sifatnya lebih formal. “Sebenarnya, manfaat terbesar adanya KM yang baik adalah merangsang tumbuhnya ide dari setiap karyawan, baik itu yang simple maupun yang lebih sophisticated,” ujar Manajer Dukungan Pelanggan AG itu.

    Manfaat adanya KM juga diakui Suyanto Tjoeng. Menurut Manajer Global Services – Marketing and Support AG ini, adanya KM memungkinkan karyawan AG menangkap tacit knowledge, berbagi info aktivitas, serta memelihara dan mempercepat penciptaan knowledge. “Kami menggunakan KM tools untuk media komunikasi pemasaran, seperti berbagi info produk, solusi dan case study,” ujar Suyanto.

    Implementasi KM yang dilakukan AG ini dinilai praktisi dan pengamat TI Richard Kartawijaya sebagai langkah tepat. Sebab, menurut Richard, keberadaan KM sangat penting, terutama bagi perusahaan besar. Pasalnya, tanpa KM ketahanan perusahaan akan sangat lemah. “Perusahaan-perusahaan besar seharusnya berpikir tentang ketahanan perusahan. Salah satu ketahanan perusahaan adalah menjaga knowledge dalam perusahan itu tidak hilang,” katanya menerangkan.

    Menurut Richard, peran TI dalam KM cukup penting, yakni sebagai tulang punggung utama dalam infrastruktur. Pasalnya, transfer pengetahuan dalam sistem KM melalui e-learning. “Aplikasi bukanlah yang paling penting, namun bagaimana KM ini bisa digunakan dan isinya bisa dipakai oleh orang lain.”

    Supaya implementasi KM berhasil, menurut Richard, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor manusianya. Faktor ini sangat menentukan, sebab orang punya kemauan, pemikiran dan motivasi sendiri-sendiri. Jadi, bagaimana bisa memotivasi orang untuk bisa bekerja, menggunakan, dan berbagi informasi dengan yang lain. Kedua, faktor budaya. Ini lebih pada grup atau tim yang saling memengaruhi. Memengaruhi ini sangat penting karena jika pengaruhnya positif dan mendukung KM dan e-learning, perusahaan tersebut akan semakin kuat.

    Setelah membaca artikel diatas, ada beberapa hal yang saya analisa. sbb:

    • KM sangat diperlukan, dimana suatu perusahaan yang mempunyai turnaround yang tinggi.
    • KM diperlukan juga bagi perusahaan supaya intangible dan tangible suatu perusahaan tidak hilang ketika salah satu staffnya resign.

    Sumber : http://swa.co.id


  • Kondisi industri teh saat ini yang stagnan berdampak pada semua pihak yang terkait dengan usaha tersebut, termasuk juga dari segi penghasilan dari teh yang jauh dari memadai, baik bagi petani teh rakyat dan juga pengelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) milik negara. Pada tahun 2003, volume ekspor teh Indonesia mengalami penurunan sebesar 12 persen dari tahun sebelumnya, yang mencapai 100.185 MT menjadi 88.175 MT (ITC, 2004). Dilain pihak, nilai ekspor negara-negara penghasil teh lainnya, yakni Kenya, Cina dan India mengalami peningkatan nilai ekspornya selama periode yang sama. Pertumbuhan ekspor teh Indonesia jauh dibawah pertumbuhan ekspor teh dunia bahkan mengalami pertumbuhan negatif (Suprihatini, 2004).

    Jawa Barat menyumbang 60 persen dari produksi teh nasional dan 80 persennya berasal dai teh produksi PT. Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII). Pada tahun 2002 PTPN VIII mengalami kerugian akibat menurunnya harga teh dunia (Hariyanto, 2002). Kerugian tersebut juga terjadi pada Kebun Teh Gunung Mas sebagai salah satu unit usaha PTPN VIII. Data laporan manajemen Gunung Mas dalam lima tahun terakhir (1998-2002) menunjukkan bahwa usaha agro industri teh hitam yang merupakan produk utama Gunung mas mengalami kerugian. Kerugian yang terjadi disebabkan oleh harga pokok teh kering dan harga jual teh selama periode tersebut mengalami kesenjangan yang cukup besar.

    Lemahnya daya saing teh Indonesia disebabkan oleh komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar karena kurangnya informasi tentang mutu spesifik dari tiap negara pengimpor teh membuat teh Indonesia. Mutu teh erat hubungannya berbagai proses produksi, yang melibatkan berbagai pengetahuan dan sumber daya manusia di dalamnya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut sebagian besar diperoleh dari pengalaman, dan memerlukan suatu penyebaran informasi mengenai cara yang benar.

    Untuk itu, segala bentuk informasi yang penting bagi perusahaan harus dikelola secara sistematis agar informasi tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu pengetahuan yang bermanfaat bagi pembuatan keputusan. Saat ini yang berperan dalam kekuatan bersaing tidak hanya tangible assets tetapi juga intangiable assets, termasuk didalamnya aset intelektual yang terdiri dari human capital, struktur capital (sistem) dan konsumen.

    Dengan melihat bahwa kekuatan bersaing tidak hanya terbatas pada faktor tangible assets tetapi juga intangiable assets yang dimiliki perusahaan, Masalah di dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. (1) Pengetahuan apa saja yang harus diketahui oleh perusahaan, baik dari segi eksternal (konsumen dan pesaing) dan internal (proses) dalam rangka meningkatkan daya saing dalam industri teh, baik dalam pasar global dan lokal ? (2) Aset pengetahuan apa saja yang dimiliki oleh perusahaan saat ini, yang terkandung dalam proses, teknologi informasi dan sumberdaya manusia perusahaan? (3) Bagaimana pemetaan pengetahuan yang ada di perusahaan saat ini? (4) Adakah kesenjangan pengetahuan yang dimiliki perusahaan saat ini dengan pengetahuan yang harus diketahui perusahaan? dan (5) Strategi apakah yang harus dilakukan perusahaan untuk mengelola aset pengetahuannya?

    Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi aset-aset pengetahuan yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam menghadapi persaingan dalam industri teh saat ini dan di masa depan, (2) Mengidentifikasi aset-aset pengetahuan yang dimiliki oleh PPTPN VIII, Gunung Mas yang terkandung dalam proses, teknologi informasi dan sumberdaya manusia, (3)Memetakan alur pengetahuan (knowledge mapping) yang ada dalam perusahaan (4) Menganalisa kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) perusahaan dan (5) Merumuskan strategi yang perlu ditempuh oleh perusahaan dalam rangka mengelola aset pengetahuannya.

    Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan metode deskriptif dalam bentuk studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara dengan pihak eksternal dan pihak internal Perkebunan Gunung Mas, melakukan patok duga dan studi literatur. Pemilihan pihak-pihak yang terlibat tersebut dilakukan secara purposive sampling. Teknik Pengolahan dan Analisis Data menggunakan beberapa pendekatan yaitu, sebaran t-student, K-mapping, Analisa kesenjangan, Analisis Frekuensi Data dan Pendekatan Rule base untuk sistem pakar.

    Pengetahuan yang perlu diketahui oleh perusahaan dalam tiga bagian besar yaitu pengetahuan yang terkandung dalam proses (kebun dan proses produksi), pengetahuan konsumen dan pengetahuan mengenai pesaing. Untuk pengetahuan proses, terdiri dari pengtahuan hulu dan hilir. Pengetahuan yang ada di subsistem hulu dibagi menjadi beberapa bagian yakni pengetahuan saat penanaman, pengetahuan untuk tanaman belum menghasilkan dan pengetahuan tanaman menghasilkan. Pengetahuan untuk penanaman antara lain adalah pengetahuan tentang jenis varietas teh, daerah penanaman teh yang berhubungan dengan elevasi (ketinggian dari permukaan laut), bibit tanaman teh, jenis tanah yang cocok digunakan, kemampuan lahan dan pengetahuan mengenai jarak tanaman yang optimal.

    Beberapa pengetahuan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) perlu dimiliki oleh perkebunan adalah pemeliharaan dan pemangkasan tanaman, pemberian mulsa, pengendalian Gulma, baik secara secara kultur teknis, mekanis/manual dan kimia, pemupukan dan pembentukan bidang petik. Pengetahuan untuk Tanaman Menghasilkan antara lain adalah pengetahuan tentang jenis pemetikan, jenis Petikan, giliran Petik, hanca petik, penanganan pucuk, pengetahuan mengenai pengendalian hama dan penyakit, pemupukan dan pengendalian gulma. Pada subsistem hilir (pengolahan), pengetahuan yang diperlukan umumnya memiliki standar sesuai dengan proses yang diperlukan. Pengetahuan-pengetahuan yang perlu dimiliki antara lain adalah pengetahuan mengenai proses pelayuan, penggilingan, proses Fermentasi, proses pengeringan, proses Sortasi kering dan pengetahuan mengenai pengemasan Teh.

    Untuk faktor ekternal, yakni konsumen dan pesaing, pengetahuan yang perlu dimiliki perusahaan mengenai konsumen, diantaranya adalah mengenai jenis mutu yang diinginkan konsumen, cita rasa yang diinginkan konsumen (organoleptik) dan juga perkembangan produk-produk teh. Mutu yang paling banyak diminta pada lima tahun terakhir adalah mutu jenis Fanning, yang rata-ratanya mencapai 24,26 persen. Berdasarkan hasil analisa kesesuaian mutu yang dihasilkan oleh Perkebunan Gunung Mas dengan permintaan pasar dengan menggunakan uji t-student diperoleh hasil bahwa persentase mutu jenis BP1, PF1, Fanning, D1, D2 dan D3 yang dihasilkan oleh perkebunan Gunung Mas tidak berbeda dengan jenis-jenis mutu yang diminta oleh konsumen. Namun demikian, untuk mutu jenis PD, hasil analisis menunjukkan bahwa persentase mutu jenis PD yang dihasilkan oleh Perkebunan Gunung Mas berbeda dengan persentase mutu yang diminta oleh konsumen. Dapat disimpulkan bahwa dari kesesuaian mutu, Perkebunan Gunung Mas mampu memenuhi keinginan konsumen. Berdasarkan organoleptiknya, terdapat beberapa pasar teh yang memiliki karakteristik yang berbeda.

    Berdasarkan perbandingan harga diantara 18 perkebunan-perkebunan penghasil teh jenis CTC, diperoleh hasil bahwa untuk semua jenis mutu perkebunan yang memiliki harga jual tertinggi adalah perkebunan Cibuni, sedangkan pada urutan kedua adalah perkebunan Wonosari, PTPN XII. Perkebunan Gunung Mas sendiri berada pada posisi ke 12 dari 18 perkebunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa posisi Perkebunan Gunung Mas masih rendah.

    Berdasarkan audit pengetahuan yang ada di Perkebunan Gunung Mas, secara umum perkebunan telah memiliki pengetahuan dalam hal proses (kebun dan pengolahan). Hal tersebut dapat dilihat dari alur pengetahuan yang ada, sebagian besar pengetahuan proses yang diperlukan oleh perusahaan telah dimiliki. Namun demikian, dalam hal pengetahuan mengenai konsumen dan pesaing yang merupakan bagian dari eksternal perusahaan, perkebunan Gunung Mas belum banyak memilikinya. Pengetahuan yang ada di subsistem hilir (pengolahan) sebagian besar merupakan jenis pengetahuan eksplisit, dalam bentuk prosedur-prosedur baku yang dapat dibaca dan menjadi acuan para karyawan di Subsistem tersebut. Dilain pihak, untuk pengetahuan di subsistem hulu, terdapat beberapa pengetahuan yang bersifat tacit, diantaranya adalah pemangkasan, teknik persemaian dan pembentukan bidang petik.

    Red Alert Zone terdapat pada subsistem hulu dan pengetahuan mengenai konsumen dan pesaing. Untuk subsistem hulu fokus strategi lebih pada pendekatan sosialisasi melalui proses penyebaran baik secara internalisasi maupun eksternalisasi. Berdasarkan hal tersebut direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut. (1) Perusahaan menetapkan waktu khusus untuk berdiskusi antara karyawan mengenai hasil kerja dan bertukar ide antar karyawan, (2)Membuat prosedur operasional baku untuk tiap-tiap pengetahuan yang ada di subsistem hulu disesuaikan dengan kondisi Perkebunan Gunung Mas, (3) Sistem pelatihan dan pendidikan yang berjenjang, dimana karyawan yang mendapatkan pelatihan dan pendidikan diharuskan berbagi pelatihan dengan karyawan lain melalui prosedur baku, (4) Adanya penilaian terhadap pelatihan atau pendidikan yang diberikan kepada karyawan, dimana hal tersebut berpengaruh terhadap reward and punishment, (5) Mengadakan program untuk meningkatkan kemampuan untuk menuangkan pengetahuan tacit karyawan, misalnya penulisan karya tulis dan (6) Dokumen yang telah ditulis, disimpan dalam database perusahaan serta kepemilikan Perpustakaan di Perkebunan Gunung Mas.

    Komentar dari saya sbb :

    • KM ternyata bisa diterapkan pada semua bentuk perusahaan, dari perusahaan yang berhubungan dengan IT sampai dengan sebuah perusahaan perkebunan.
    • Implementasi KM akan berhasil apabila disupport sepenuhnya oleh stakeholder dan shareholder.

    Sumber : http://elibrary.mb.ipb.ac.id/

  • Persaingan bisnis menuntutnya melakukan pengembangan organisasi. Sejumlah program pun digelar. Hasilnya, positif.

    “There are three secrets to managing. The first secret is have patience. The second is be patient. And the third most important secret is patience.”

    Kalau Chuck Tanner membuat kesimpulan seperti itu, tentu bukan untuk lelucon. Bagi Tanner, kesabaran betul-betul kunci sukses, utamanya ketika harus mengelola banyak orang hebat menuju sebuah tujuan. Chuck membuat kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman suksesnya bertahun-tahun mengelola tim bisbol hebat mulai dari Chicago White Sox, Oakland Athletics, Pittsburgh Pirates, Atlanta Braves hingga tim America All Star 2006.

    Di dunia bisnis, PT Holcim Indonesia Tbk. tampaknya termasuk memegang prinsip itu. Kesabaran. Itu sangat terlihat ketika produsen semen ini melakukan restrukturisasi serta pengembangan organisasi untuk menjadi winning company di tengah sengitnya persaingan. Ketika banyak perusahaan lebih memilih cara instan untuk membentuk winning team sebagai pilar winning company, Holcim memilih caranya sendiri. Pengelolaan SDM, misalnya. Sementara yang lain membajak SDM atau tim dari perusahaan lain, Holcim memilih memekarkan dari dalam, walaupun memang, butuh waktu lebih lama. “Kami butuh bertahun-tahun agar restrukturisasi berjalan seperti sekarang,” ungkap Eamon Ginley, Presdir Holcim. Namun, SDM hanyalah satu sisi dalam pembentukan winning team. Sejumlah langkah lain dilakukan.

    Bila dikilas balik, Holcim memang berkepentingan memiliki organisasi yang inovatif dan adaptif. Perusahaan yang awalnya bernama PT Semen Cibinong ini mengalami sejumlah persoalan ketika diakuisisi Grup Holcim tahun 2002. Saat itu perusahaan masih merasakan dampak krisis ekonomi 1998. Banyak karyawan cemas dan menduga-duga apa yang akan terjadi pada perusahaan. Semen Cibinong berada di urutan ketiga di pasar. “Posisi kami ketiga, tetapi jaraknya dengan perusahaan di atasnya cukup lebar,” ungkap Ginley.

    Pendeknya, ada banyak hal yang harus dibenahi pada 2001-02. Dari sisi positioning bisnis, sebut contoh, Holcim memutuskan mengubah dari yang berbasis bisnis komoditas menjadi perusahaan pemberi solusi dan inovasi bagi pelanggan. Lalu, membangun ekuitas merek. Maklum, perusahaan yang 77,33% sahamnya dikuasai Grup Holcim ini tahun itu masih menggunakan merek Semen Cibinong.

    Melihat persoalan dan tuntutan, akhirnya manajemen memutuskan memperbaiki organisasi dulu, melalui program restrukturisasi di berbagai lini. Perbaikan pertama dilakukan di bidang SDM. “Kami yakin pengorganisasian SDM yang baik akan memberi dampak yang lebih besar daripada perubahan dalam hal pemasaran dan inovasi,” Ginley memberi alasan. Di antara upaya perbaikan SDM itu, melembagakan sistem yang disebut Holcim Academy. Ini bukanlah lembaga pendidikan, melainkan konsep peningkatan mutu SDM. Di dalamnya ada sejumlah program yang dianggap penting. Contohnya, people development program dan succession planning. Tujuan program yang dilakukan sejak awal 2005 ini adalah menetaskan leader untuk memimpin unit-unit organisasi.

    Holcim Academy juga menyelenggarakan program Organizational Performance Improvement (OPI). Melalui program ini, Holcim mengambil beberapa orang terbaiknya, lalu diberi pelatihan untuk menjadi coach. Setelah dilatih, mereka dikembalikan ke unit area untuk membantu proses perubahan selama sekitar 8 bulan. Program itu berlaku bagi seluruh lapisan karyawan, dari kepala departemen sampai level terendah. OPI seperti program yang membangun DNA perusahaan. Dari sini diharapkan senantiasa muncul ide-ide baru dari karyawan.

    Bicara Holcim Academy, Ginley menganalogikannya seperti mesin yang bisa membuat roda pengembangan organisasi terus berjalan. Di sini banyak dikombinasikan berbagai manufacturing technique dan best practice bidang manajemen dari perusahaan-perusahaan terbaik dunia. Di dalamnya ada proses pemilihan, rekrutmen dan induksi. “Ini semua terlaksana dengan talent management yang juga merupakan bagian dari Holcim Academy.”

    Sebenarnya, Ginley menambahkan, elemen-elemen pada Holcim Academy cukup sederhana, tetapi penerapan yang benar dan terintegrasi membuatnya jadi sangat berarti. Pihaknya butuh lebih dari 6 bulan untuk mempersiapkan diri sebelum program itu siap dipakai. Saat ini Holcim Indonesia memiliki 2.500 karyawan yang semuanya terlibat dalam program peningkatan kualitas SDM tersebut.

    Untuk pengadaan karyawan, Holcim lebih suka membina sendiri ketimbang mengambil dari luar yang sudah jadi. Dikembangkan program pelatihan bagi karyawan baru yang disebut Graduate Development Program. “Kami lebih suka membangunnya dari dalam, lebih efisien,” kata Ginley yang pernah ditugaskan di Holcim Selandia Baru, Cina dan Australia. Bahkan, ketika akan mengisi jabatan posisi mid-level career pun, Holcim lebih suka mencari dari dalam dulu. Tak mengherankan, di office board sering terdapat pengumuman lowongan kerja untuk internal.

    Penyiapan winning organization juga dilakukan dengan mengirimkan sejumlah karyawan ke negara-negara di mana ada bisnis Holcim. Ada program penugasan internasional. Karyawan Holcim di Indonesia dimungkinkan bekerja di negara lain seperti Meksiko, Filipina dan Malaysia. Karyawan juga dikirim ke pertemuan inovasi. Tahun 2008, misalnya, ada Asian Marketing Board yang dihadiri lebih dari 100 peserta dari 12 negara Asia. “Ini ajang untuk pertukaran ide dan inovasi di antara para awak marketing yang sangat berguna,” kata Ginley seraya menjelaskan, perusahaannya berubah nama dari PT Semen Cibinong menjadi PT Holcim Indonesia Tbk. pada 2006.

    Tak hanya itu, organisasi yang inovatif juga dirancang melalui berbagai program resmi. Contohnya, Holcim rutin mengadakan CEO Award yang dengan itu masing-masing unit bisnis bisa saling melihat dan berkompetisi mana saja yang memiliki ide inovatif. “Program yang menarik, karena membuat lebih banyak ide bagi perusahaan,” ungkap Ginley. Bahkan saking seriusnya, sejak 2004 Holcim pun merestrukturisasi susunan dewan direksi dengan membentuk Direktorat Pemasaran & Inovasi. Jadi, ada direktur tersendiri yang membawahkan bidang pemasaran dan inovasi. Tim ini tidak hanya fokus pada pemasaran dan penjualan, tetapi juga inovasi. Tujuannya, agar lebih inovatif dalam memberi solusi kepada pelanggan dan dalam menciptakan saluran pemasaran.

    Ya, program-program inovasi memang menjadi prioritas manajemen Holcim agar perusahaan jadi winning company. “Kelebihan Holcim Indonesia dibanding perusahaan semen lainnya adalah inovasi,” kata Ginley mengklaim. Inovasi dinilai sangat penting karena Holcim tidak cukup besar untuk berani berkompetisi dengan menawarkan harga yang terendah di pasar.

    Yang jelas, pelbagai upaya itu tampaknya tak sia-sia, terutama bila melihat efektivitas program yang dilakukan dalam dua tahun belakangan dan juga kinerjanya. Hal itu tampak dari program-programnya yang inovatif seperti membangun positioning perusahaan, melakukan product branding, dan membangun saluran-saluran baru pemasaran. Salah satu inovasinya, Solusi Rumah, suatu produk yang menawarkan bantuan membangun rumah dan memberikan akses finansial bagi konsumen untuk mendapatkan rumah impian. Hal ini belum dilakukan pemain semen lain.

    Lalu, Holcim juga membuat sarana pengangkut semen dalam ukuran lebih kecil dari truk semen pada umumnya, dinamakan Minimix. Terbukti Minimix sangat berguna untuk memasuki jalan-jalan kecil di Jakarta yang merupakan kota dengan tingkat kemacetan tinggi.

    Holcim pun sukses melakukan co-branding dengan beberapa pebisnis di daerah, dan menawarkan kesempatan franchise untuk Solusi Rumah dan Holcim Beton. Untuk Solusi Rumah, Holcim menawarkan waralabanya sejak 2008, sedangkan Holcim Beton baru mulai Juni 2009. Melalui PT Holcim Beton, grup ini ingin membuat terobosan dalam perluasan pasar dengan melibatkan masyarakat, dengan konsep waralaba. Cara ini pertama kali ada di Indonesia.

    Konsep itu sudah diterapkan Holcim di Thailand dan sukses. Di Thailand, dari 77 batching plant Holcim, sekitar 22 dikelola mitra investor. Konsep ini akan menguntungkan Holcim yang sekarang memiliki dua manufacturing plant (Narogong-Bekasi dan Cilacap-Jawa Tengah). Para investor dapat menyediakan beton jadi kepada pelanggan di daerah masing-masing dengan dukungan tenaga ahli dari Holcim Beton, termasuk pengiriman yang terkomputerisasi dan kendali mutu berstandarkan ISO 9001. Beton jadi yang dihasilkan para mitra itu akan memiliki kualitas sama dengan produksi Holcim Beton.

    Berbagai upaya perbaikan organisasi yang dilakukan sejak 2002 itu membawa hasil memuaskan. Holcim sukses membenahi berbagai aspek, seperti SDM, produksi, distribusi produk dan strategi pemasaran. Kini Holcim telah menjadi perusahaan solusi bangunan, bukan semata-mata berjualan semen.

    Dari sisi keuangan, prestasi itu juga tampak. Akhir 2008, laba bersih yang dikantongi mencapai Rp 282,2 miliar, meningkat 66,59% dibanding tahun 2007 yang hanya Rp 169,4 miliar. Per kuartal III/2009 penjualan naik 8,3% menjadi Rp 4,1 triliun, dari Rp 3,8 triliun pada periode yang sama tahun 2008. Di seluruh Indonesia, Holcim menguasai 14% pangsa pasar semen. “Tiga tahun terakhir ini kami tumbuh cukup tinggi di Jawa, Sumatera dan Bali yang menjadi fokus kami,” tutur Ginley.

    Ginley mengaku cukup sulit mengukur berapa besar dampak perubahan manajemen terhadap bisnis perusahaan. Ini memberikan gambaran bahwa banyak penghematan capital expenditure investasi yang dapat diperoleh dengan adanya berbagai program peningkatan mutu SDM dan manajemen tersebut, persentasenya mencapai 50%. “Karena dari total investasi perusahaan, 50% adalah kontribusi dari inovasi para pekerja, dan sisanya barulah hal-hal lain seperti teknologi dan peralatan,” ujarnya. Dia juga meriset, selama ini semua hasil inovasi bukan berasal dari teknologi. “Itu inovasi murni dari SDM.”

    Yang jelas, apa pun yang dihadapi, manajemen Holcim berusaha selalu membangun komunikasi dengan karyawan. Jangan heran, dalam setahun setidaknya dilakukan tiga kali business briefing yang diikuti karyawan. Pada kesempatan itu biasanya direksi mengomunikasikan kondisi bisnis perusahaan.

    Untuk rencana jangka panjang, Holcim akan terus berekspansi, seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur. Holcim memang masih akan berkonsentrasi di Jawa sebagai pasar yang terus berkembang. Menurut Ginley, pihaknya juga akan terus memperkuat ekuitas merek karena peluncuran merek Holcim Indonesia baru dilakukan tiga tahun lalu.

    Steve Sudjatmiko, pemerhati bidang manajemen, melihat hal yang luar biasa dari Holcim Indonesia adalah keberadaan Holcim Academy serta pengiriman karyawan ke negara lain atau penugasan internasional karena hal itu meningkatkan kapabilitas orang. “Sharing ilmu antarnegara akan meningkatkan kemampuan para karyawan,” katanya. Perusahaan Jepang biasanya juga mau menularkan ilmu kepada anak-anak perusahaan atau bahkan ke agen-agen mereka seperti Toyota dan Honda.

    Holcim juga dinilai Steve mampu melakukan inovasi yang belum banyak dilakukan kompetitornya. Mulai dari Solusi Rumah dan Holcim Beton yang diwaralabakan hingga Minimix yang memang tepat untuk jalanan yang tidak cukup lebar dan kuat seperti di Indonesia. “Apalagi, pola franchise tepat untuk meningkatkan sales, memperkuat market share, dan sekaligus menurunkan biaya operasional. Franchise memangkas biaya karyawan dan manajemen di daerah yang sulit dikontrol,” katanya.

    Sisi lain yang dilihat Steve, manajemen puncaknya solid, terbuka dan sangat aktif berubah terutama bila perubahan itu untuk memenuhi tuntutan konsumen. “Holcim berusaha membuat seluruh organisasi terus berubah,” ujarnya. Saran Steve adalah Holcim memiliki “self-running system” agar karyawannya siap berubah tanpa dorongan dari atas.

    Ginley sendiri tak menampik pihaknya telah mengeluarkan cukup banyak uang demi program restrukturisasi. Termasuk untuk biaya konsultan berskala internasional yang berbasis di Indonesia yang digunakannya. Namun, menurutnya, kesuksesan bukan soal uang, melainkan soal sikap para direksi dan jajaran manajer. Di lain sisi, Ginley pun merasakan, dalam memperbaiki tidak bisa simsalabim 1-2 minggu selesai. “Kami butuh 7 tahun untuk menerapkan konsep ini. Kami serius menginvestasikan waktu kami untuk menjalankan program ini,” tuturnya. Ya, memang butuh kesabaran untuk mencapai sebuah tujuan besar, persis seperti diutarakan Chuck Tanner, si bintang bisbol Amerika di atas. Bagaimana perusahaan Anda?

    _________________________________________________________

    Langkah Holcim Mengembangkan Organisasi

    • Membangun Holcim Academy untuk peningkatan mutu SDM
    • Mengirimkan sejumlah karyawan ke negara-negara di mana ada bisnis Holcim untuk pertukaran gagasan
    • Terus mencoba melakukan berbagai inovasi
    • Mengadakan CEO Award untuk merangsang prestasi dan inovasi karyawan
    • Merestrukturisasi susunan board of director dengan membentuk Direktorat Pemasaran dan Inovasi

    ________________________________________________________

    Sumber : http://swa.co.id/

  • Implementing Knowledge Share

    Knowledge Share has currently been implemented in DKM and DPD; process of work and working documents have been integrated into an enterprise content management system called Knowledge Share (Figure 3).

    The benefits of implementing Knowledge Share are:

    • Easy to use.
    • Information available when needed.
    • Enhanced customer relations.
    • Reduction in costs.
    • Reduction of redundant work.

    Scope of Knowledge Share at DPD:

    • e-Document.
    • e-Process:
    • Decision-making process.
    • Reserve transaction.
    • Intervention.
    • Submission of reports for board of governors’ meetings.
    • Counter-party evaluation.

    Scope of Knowledge Share at DKM:

    e-Document, e-Process, Submission of reports for board of governors’ meetings.

    The implementation of Knowledge Share is primarily applied to core directorates to enhance and shorten the working process and to make the results available to the board of governors. The implementation of the KM system will continue to be ongoing well into the coming years, and attempts have been made to broaden its implementation to include other bank functions such as the banking and payment system.

    Enabler

    Bank Indonesia has peculiar characteristics that made this KM initiative work: a specific structure and standard operating procedures as well as certain facilities to run these initiatives. Moreover, from the employees’ point of view, there are many ways to describe the kind of people who work at Bank Indonesia. Dr. Goeltom opts for a performance-based approach to describe the character of an employee. A typical feature of a performing employee is consistent performance. The high quality of Bank Indonesia employees lies in their ability to complete the tasks given to them. This often eludes the perception of individuals even when they are working at Bank Indonesia. This quality is often hidden, quietly kept, as if it were not in existence. Implied in this is the untapped potential of the Bank’s workforce. However, it is the bank’s culture of always delivering results that makes this KM Initiative work four years after its inception.

    Bank Indonesia is aware that the knowledge of the existence of good or best practices and specified knowledge alone is not enough. Their benefits are limited unless they are transferred and applied or put into practice.

    WHAT IS BANK INDONESIA DOING?

    • Sharing its experience and knowledge in KM implementation and concepts in particular with universities across the country under the catchword of BIDIK, an Indonesian abbreviation for the sharing of information in universities.
    • Encouraging individuals who have been successful in applying KM to provide peer assistance.
    • Learning new things regarding approaches adopted by other organizations.
    • Extending the network of communities experienced in KM to national and international levels.

    LESSONS LEARNED

    As a large organization subjected to various levels of bureaucratic influence from the government of Indonesia, Bank Indonesia is confronted with some challenges in making itself into a knowledge-based organization. Even though there have been no major difficulties in terms of introducing information technology, some lessons that have been learned as far as human perspectives are concerned are presented below.

    Inviting big elephants to dance is a significant challenge. As the country’s central bank, Bank Indonesia is an organization with no competitor. This means that its employees live in a comfort zone, resistant to change. “Why must we change? This present situation is already so good and smooth. What is change for?”

    “Teaching smart people to learn” is perhaps the most accurate phrase to describe the situation in Bank Indonesia. The quality of its human resources is high, and yet this is exactly the reason why it is difficult to ask these intelligent individuals to learn again. And finally, there is another factor that is often encountered in almost every organization: a lack of trust. Somehow this must be dealt with.

    Lessons learned in implementing KM at Bank Indonesia are:

    • Start small, not with a Big Bang.
    • Have a clear vision.
    • Have key performance indicators (you will not be able to manage if you are not able to measure).
    • Have commitment from top leadership.
    • Have a reward and recognition system.
    • Reinforce learning and sharing activities and integrate them into the business process.

    It has also been learned that KM is not a technology project. It is a “heart” project, for it is about how to find a place for your initiative everyone’s heart and how to instill in everyone a spirit of learning and sharing activities. It justifies the belief that “In the end, it is too early to say that our implementation is a success story; we are embarked on a journey of knowledge management, reaching towards our destiny …”

    Ada beberapa point yang bisa diambil pada case diatas sbb :

    • BI yang notabene suatu organisasi yang besar ternyata sudah mulai sadar butuh KM.
    • Organizational Culture sangat dibutuhkan sekali ketika pertama kali implementasi KM.

    Sumber : http://apintalisayon.wordpress.com/km-case-studies/

  • Management 14.10.2010 No Comments

    Competitive advantage merupakanKnowledge Spiral

    suatu kemampuan perusahaan untuk bersaing lebih unggul dibandingkan kompetitior. Competitive advantage dapat dihasilkan dari berbagai macam cara, sebagai contoh keunggulan dalam hal kapasitas produksi, keunggulan dalam hal akses ke sumber daya, keunggulan dalam hal asset perusahaan (gedung, kendaraan, mesin pabrik), atau keunggulan dalam hal pengetahuan. Nah keunggulan dalam hal pengetahuan ini bila kita kita kelola dengan baik akan dapat menjadikan senjata yang unggul dalam bersaing. Saya beri contoh Toyota menciptakan suatu filosofi Toyota Way yang kemudian berkembang menjadi salah satu dasar manajemen kualitas yang tertulis dalam Toyota Production System. Contoh lainnya Schlumberger yang mengeluarkan sistem InTouch, suatu sistem yang didesain untuk membuang segala keruwetan informasi sehingga mempermudah karyawam untuk saling knowledge sharing.

    Nah, disinilah benang merah antara knowledge management dengan competitive advantage, utamanya keunggulan bersaing dalam hal pengetahuan. Knowledge management menjadi suatu tools untuk mewujudkan knowledge competitive advantage. Dengan pengelolaan pengetahuan tersebut dengan baik, maka perusahaan akan memperoleh beberapa keuntungan antara lain:
    -Mengetahui kekuatan (dan penempatan) seluruh SDM
    -Penggunaan kembali pengetahuan yang sudah ada (ditemukan) alias tidak perlu mengulang proses kegagalan
    -Mempercepat proses penciptaan pengetahuan baru dari pengetahuan yang ada
    -Menjaga pergerakan organisasi tetap stabil meskipun terjadi arus keluar-masuk SDM

    Knowledge Spiral
    Ada satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dari knowledge management karena menjadi salah satu legenda dalam Knowledge Management yaitu knowledge spiral yang dikenalkan oleh Ikujiro Nonaka dengan bukunya The Knowledge-Creating Company. Ikujiro Nonaka membuat suatu formulasi yang kita kenal dengan nama SECI atau Knowledge Spiral.

    Inti konsepnya dalam knowledge spiral bahwa pengetahuan itu mengalami proses bilamana digambarkan akan berbentuk spiral. Proses itu antara lain Externalization – Combination – Internalization – Socialization.

    Proses eksternalisasi (externalization),
    Proses ini mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge. Secara natural tacit knowledge sulit dikonversi menjadi explicit knowledge. Proses ini bisa dilakukan dengan mendokumentasikan atau menuliskan know-how dan pengalaman yang didapatkan ke dalam bentuk tulisan artikel atau bahkan buku apabila perlu.

    Proses kombinasi (combination),
    Proses ini memanfaatkan explicit knowledge yang telah ada untuk diimplementasikan menjadi explicit knowledge lain. Proses ini bisa dengan mengkombinasikan explicit knowledge yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi explicit knowledge baru. Dengan proses ini, kita bisa meningkatkan skill dan produktifitas.

    Proses internalisasi (internalization),
    Proses ini mengubah explicit knowledge sebagai inspirasi datangnya tacit knowledge. Dengan referensi dari manual dan buku yang ada, kita menemukan pengalaman baru, pemahaman baru dan know-how baru.

    Proses sosialisasi (socialization),
    Sosialisasi meliputi sharing information dan komunikasi tacit knowledge ke orang lain misalnya dengan cara rapat bersama dalam kantor. Agar lebih efektif, ketika akan sharing diusahakan mengambil suatu tempat dimana terdapat orang-orang yang memiliki kesamaan sudut pandang sehingga nantinya bisa berjalan efektif. Jika dalam perusahaan, meeting seperti ini biasa dilakukan misalnya team meeting atau meeting satu departemen yang sama.

    sumber :

    http://km.gunarta.net

  • Setelah setahun menjalankan program Allianz Indonesia Corporate University, kinerja perusahaan asuransi asal Jerman itu meningkat. Untuk pertama kalinya pencapaian premi tembus Rp 4,3 triliun. Apa yang mereka pelajari?

    Meski di satu gedung, dulu karyawan Allianz Indonesia tidak saling kenal. Jika bertemu di satu lift pun, mereka tidak bertegur sapa. Ya, hanya mereka yang berada di satu divisi yang bisa saling akrab. Namun, sekarang di lift kantor yang menempati Gedung Summitmas I, Jalan Sudirman, Jakarta, ini canda tawa karyawan Allianz-lah yang paling heboh.

    Sekarang karyawan Allianz melebur. Jangankan mereka yang berada di satu departemen, mereka yang berbeda perusahaan di dalam grup itu pun lebih bersahabat. Baik karyawan PT Allianz Life Indonesia/ALI (asuransi jiwa) yang markasnya di lantai 1 maupun karyawan PT Asuransi Allianz Utama Indonesia/AUI (asuransi umum) yang berada di lantai 9 lebih peduli pada teman sejawat dan lingkungan perusahaan.

    Ini berkat diterapkannya program Allianz Indonesia Corporate University (AICU).  Menurut Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Kepatuhan AUI itu, sejak 2008 Grup Allianz memandang SDM sebagai capital. Sebagai perusahaan asuransi, pengelolaan SDM sangat vital, sehingga manusianya perlu dilibatkan di dalamnya untuk pengembangan mereka.

    Apa dan bagaimana AICU? Mursosan menjelaskan, AICU merupakan bentuk program Integrated People Development, sebagai divisi pengembangan SDM yang terintegrasi bagi staf, agen dan mitra bisnis. Management menyebut Allianz Citizen untuk para staf, agen dan mitra bisnis Allianz Grup, kata profesional yang telah 25 tahun menggeluti dunia SDM itu. Dengan AICU, diharapkan terbentuk integrated people development under one strategic umbrella. Pembentukan AICU membutuhkan waktu 6 bulan dan dibantu lembaga PPM di Menteng, Jakarta.

    Kegiatan pendidikan dan pelatihan AICU yang diresmikan per Juli 2008 dipilah menjadi tiga akademi: Management Academy (untuk karyawan), Agency Academy (untuk tenaga keagenan) dan Bancassurance Academy (untuk tenaga penjual bancassurance). Sementara, kurikulumnya dibedakan menjadi dua. Pertama, materi umum, yaitu soft skills yang ditujukan untuk semua akademi. Contohnya, Communications Skills, Feedback & Coaching, serta Problem Solving. Kedua, materi khusus, yakni berhubungan dengan peningkatan kompetensi (skill & knowledge) di bidang masing-masing. Misalnya, materi Power Presentation, Product Knowledge & Selling Skills (untuk tenaga penjualan).

    Selain itu, ada konsep Learning Culture (budaya pembelajaran). Di sini AICU bermisi menjadikan Allianz Indonesia sebagai organisasi pembelajaran (learning organization) dengan budaya pembelajaran yang kuat. Dipadu dengan program pengembangan diri dan kapabilitas terintegrasi bagi semua orang, maka lahirlah konsep pengajaran dengan metode sharing untuk materi-materi yang ada dengan fasilitator internal yang mendapat predikat Learning Champion (LC).

    Siapa saja yang berhak menyandang predikat LC? Jawabannya adalah Allianz Citizen yang telah mengikuti pelatihan sebuah materi, kemudian bersedia mendalami materi itu dan dilatih menjadi fasilitatornya dalam sesi lanjutan Train for The Trainers. Para LC adalah mereka yang telah mengabdikan waktunya setidaknya 8 jam kerja dalam sehari untuk memfasilitasi sebuah materi kepada kelas berisi 30-40 orang. Penerapan konsep ini dimulai pada 1 Januari 2009.

    Dengan menjadi LC, orang tersebut otomatis juga menjadi panutan dalam kegiatan sehari-hari. Apabila makin banyak LC, kian banyak orang yang bisa dilatih dan makin banyak pula SDM yang memiliki kompetensi mendalam sekaligus menjadi role model. Pada gilirannya, proses ini akan mendorong peningkatan kompetensi SDM di perusahaan secara menyeluruh dan semakin kuat posisi keunggulan kompetitif perusahaan.

    Meski demikian, berdasarkan prestasinya, kategori LC dipilah menjadi tiga: silver, bronze dan gold. Untuk silver minimal memberi pelatihan 24 jam atau selama tiga hari. Untuk naik ke level gold, skor evaluasinya harus 4 (dari skala 5). LC gold ini nantinya wajib membuat artikel apa saja yang sudah disampaikan ke peserta AICU. LC harus ada kesediaan waktu dan engagement dengan training ini.

    Pelatihan awal AICU terdiri atas dua kelas. Tiap kelas diikuti 50 peserta calon LC. Dari 50 kandidat, dipilih 10 orang LC. Dalam perkembangannya sekarang, AICU telah memiliki 201 LC, 6.000 peserta Allianz Agency Academy, 4.500 peserta Allianz Bancassurance Academy dan 2.400 peserta Allianz Management Academy.

    Untuk pengembangan mentor AICU, selain mengandalkan para LC, juga ada program recognition. mengundang sosok yang dianggap sangat kompeten dan menjadi sumber inspirasi Allianz Citizen sebagai pembicara. Umpamanya, belum lama ini AICU mendatangkan T.P. Rahmat, mantan Presdir PT Astra International Tbk. Para LC ini harus bisa men-train the trainer lho, tutur Mursosan sembari menambahkan, kendala yang dihadapi LC adalah jika ada tugas kantor secara mendadak. Untuk itu, disepakati tiap penugasan kantor mesti mendapat persetujuan orang nomor satu di Allianz agar tidak bentrok dengan tugas karyawan sebagai LC.

    Struktur organisasi AICU dipimpin corporate head yang levelnya setingkat general manager dan dibantu oleh 14 staf pendukung. Selain itu, tiap tiga bulan ada steering committee yang terdiri dari pemimpin ketiga akademi Allianz. Sementara gathering untuk para LC dilakukan setahun sekali.

    Setelah dijalankan lebih dari setahun, program AICU membuahkan hasil signifikan bagi performa perusahaan dan kemajuan SDM. Untuk SDM, AICU mampu mempererat kolaborasi dan hubungan antarunit atau departemen, meningkatkan rasa kepemilikan di perusahaan, mengatrol kompetensi SDM, dan menggalakkan budaya inovasi. Setelah AICU dijalankan, meski baru awal, kedekatan antardivisi terasa. Karyawan sudah saling kenal.

    Karyawan mengakui benefit AICU. Simak pengakuan Agung. Dengan pernah menjadi LC, Agung tertantang untuk terus mengembangkan diri dan tetap menjadi karyawan terbaik.

    Carmelita Cassandra berusaha memperkuat rekannya. Dengan AICU, tiap orang berpikir untuk maju. Karena di AICU yang memberikan training teman sendiri, setiap masalah yang ditanyakan dijawab dengan jelas sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Untuk itu, kami tidak sungkan bertanya dan lebih asyik.

    Benefit AICU bagi perusahaan adalah tembusnya premi hingga Rp 4,3 triliun. Momen ini menjadi tonggak bersejarah bagi Allianz, lantaran untuk yang pertama kalinya pencapaian premi di atas Rp 4 triliun pada 2009. Bandingkan dengan premi tahun 2008 yang sebesar Rp 3,7 triliun. Selain itu, dengan AICU, perusahaan berhasil membangun budaya pembelajaran yang berkesinambungan melalui metode practice sharing.

    Tidak kalah pentingnya, Engagement, sehingga turnover tidak tinggi. Di Industri asuransi umumnya tren turnover 11%-12%, sedangkan Allianz Indonesia justru rendah, yaitu di bawah dua digit, ungkap Mursosan. Peserta pelatihan dan pendidikan AICU juga ia klaim yang terbesar. Alasannya, perusahaan asuransi lain tidak pernah sebanyak ini pesertanya, yakni lebih dari 13 ribu orang. Apalagi, jumlah LC terus bertambah, kini ada 201 orang, dengan 720 kelas.

    Boleh jadi pendapat Mursosan benar tentang jumlah peserta pelatihan yang terbesar. Namun, di samping Allianz, beberapa perusahaan asuransi lain pun mempunyai program pengembangan SDM. Sebut saja, Prudential Indonesia yang meresmikan pusat pelatihan PruSales Academy (PSA) pada 2006. Di sini profesionalisme para agen ditingkatkan dengan berbagai modul pelatihan & pengembangan. Misalnya, pelatihan asuransi dasar, pelaksanaan ujian untuk mendapatkan lisensi permanen dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia secara elektronik (e-Exam), dan pelatihan financial advisor. Kini, ada 6 cabang PSA, tersebar di Jakarta, Medan dan Bandung. Tidak semua dari 60 ribu agen Prudential mengikuti PSA.

    Bagi perusahaan multinasional sekelas Allianz dan Prudential, program corporate university sangat penting. “Ini sudah menjadi sebuah kewajiban, bukan lagi sebuah tantangan, Lilik Agung berkata, Mitra Pengelola High Leap Consulting. Menurut Lilik, dalam kontens Allianz, yang mempunyai ribuan karyawan resmi, ribuan agen dan mitra bisnis, AICU sangat urgen. Apalagi, tingkat persaingan antarperusahaan asuransi begitu ketat. Ditambah lagi, para raksasa asuransi global sedang gencar melakukan merger untuk menghasilkan megaraksasa asuransi. “Persaingan ketat ini hanya bisa dilalui apabila didukung karyawan dan para agen yang memiliki budaya pembelajar. Lagi pula, hidup-mati perusahaan asuransi tergantung pada para agen. Alhasil, para agen ini harus selalu diasah keterampilan sekaligus motivasi mereka untuk menjual dan menggaet konsumen baru. Program ini, menurutnya, sejalan dengan cita-cita Allianz untuk menjadi organisasi pembelajaran. Harapan ini akan terwujud bila proses pembelajaran telah menjadi budaya perusahaan.

    Tidak bisa dimungkiri, AICU merupakan duplikasi Allianz di beberapa negara. Mursosan mengakui pengembangan SDM di Jerman melalui Allianz Corporate University (ACU) yang ditujukan untuk internal Allianz dan eksekutif puncak. Sementara di kantor regional Allianz di Singapura ada ACU yang diperuntukkan bagi second layer dari manajemen puncak di Asia dengan program pelatihan kepemimpinan, teknis dan fugsional.

    Walaupun begitu, Lilik menilai AICU memiliki sejumlah keunikan. Menurutnya, untuk konteks Indonesia, AICU adalah kemewahan, karena belum banyak perusahaan yang peduli terhadap pengembangan karyawan melalui corporate university. Selain itu, sebagai perusahaan dengan tulang punggung karyawan di luar perusahaan (agen), maka proses pembelajaran menjadi komprehensif, terstruktur, terpola, plus terkait jenjang karier (walaupun status bukan karyawan). Bagi karyawan, AICU akan memberi mereka keleluasaan mengikuti pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan.

    Kesuksesan AICU ditentukan dua hal. Pertama, komitmen para pemimpin Allianz (dari level direksi hingga manajer). Kedua, kemampuan menjaga AICU agar tidak terpengaruh proses merger atau akuisisi bila suatu saat hal itu terjadi di tubuh Allianz. Untuk itu, ia menyarankan, AICU dikelola orang-orang yang kompeten. Juga, perlu ditingkatkan pelatih dari luar perusahaan, terutama untuk soft skills. Tak lupa, pelatih selalu memiliki pengetahuan dan kemampuan mengajar yang terbarui. Bahkan, ada kompensasi yang atraktif guna mendorong motivasi para LC mengajar.

    Sumber : http://swa.co.id/